Di bawah terik matahari Padang yang menyengat, sebuah drama perebutan tanah kembali terulang. Kamis, 12 Juni 2025, bukan hanya tanggal biasa, melainkan hari di mana putusan damai sebuah perkara perdata berujung pada pengamanan eksekusi yang melibatkan puluhan aparat dan pihak-pihak bersengketa. Di Jalan Dr. M. Hatta Rt. 03 RW. 02 Kelurahan Kapalo Koto Kecamatan Pauh, hamparan tanah seluas 29.000 meter persegi menjadi saksi pertarungan hak dan klaim.
Objek eksekusi ini, yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik No. 789 atas nama Amar Manggulung Alam, awalnya merupakan lahan sengketa antara Xaveriandi Sutanto sebagai pemohon eksekusi dan Tawanus serta kawan-kawan sebagai termohon. Meskipun putusan damai telah dicapai, dan Tawanus telah menerima putusan tersebut, rupanya ada pihak lain yang enggan beranjak. Rusdi Coa, beserta kaumnya dari Suku Jambak, yang selama ini mendiami dan menguasai lahan tersebut, menjadi batu sandungan utama dalam pelaksanaan eksekusi ini.
Pagi itu, sekitar pukul 09.00 WIB, suasana di lokasi mulai menghangat. Petugas keamanan, dipimpin langsung oleh Kabag Ops Polresta Padang, telah bersiaga penuh. Di antara kerumunan aparat berseragam, tampak pula pihak-pihak yang berkepentingan: Xaveriandi Sutanto, juru sita PN Padang H. Hendri, Tawanus, Rusdi Coa dan kaumnya yang penuh penolakan, perwakilan BPN Kota Padang, hingga Ketua RT setempat, Ibu Neni.
Rangkaian peristiwa berlangsung dramatis. Kanit IV Sat Intelkam Polresta Padang, IPDA Undrianto, SE, mencoba melakukan pendekatan persuasif. Ia berbicara kepada Tawanus dan kaum Rusdi Coa, meminta mereka untuk tidak bertindak anarkis. Namun, argumen klasik kembali diangkat: objek tanah masih dalam proses bantahan di Pengadilan Tinggi. Kilas balik sejarah sengketa seolah terulang, membayangi setiap langkah yang diambil.
Pukul 10.20 WIB, sebuah adegan tak terduga terjadi. Seorang pria bernama Khairudin, mengaku sebagai Tim Penyelesaian Perkara, muncul dan langsung memasang spanduk "Bantahan Eksekusi" dengan nomor perkara 84/PDT BTH/2025/PN PDG. Sebuah manuver yang jelas menunjukkan perlawanan.
Tak lama setelah itu, pukul 10.25 WIB, pasukan pengamanan dan perwakilan Pengadilan Negeri Padang tiba di lokasi. Lima menit kemudian, apel pengamanan eksekusi digelar di Lapangan Apel Mapolresta Padang, dipimpin oleh Kasubag Kerma AKP Dwi Rosdianto. Ini adalah sinyal bahwa eksekusi akan tetap berjalan sesuai rencana.
Juru sita tanah Pengadilan Negeri Padang, H. Hendri, memanggil para pihak dan perangkat warga. Pembacaan penetapan eksekusi pun dilakukan, sebuah formalitas yang menegaskan legalitas tindakan hari itu. Namun, perlawanan belum usai. Pukul 10.53 WIB, Khairudin kembali muncul, mendesak penundaan eksekusi dengan alasan yang sama. Namun, juru sita dengan tegas menyatakan bahwa eksekusi harus dilaksanakan sesuai Putusan Damai Perkara Perdata No. 178/Pdt.G/2021/PN.Pdg.
Langkah-langkah eksekusi pun dimulai. Pukul 11.07 WIB, penunjuk batas dan pengukuran objek tanah dilakukan oleh pihak pemohon, didampingi juru sita dan BPN Kota Padang. Ini adalah momen krusial, di mana batas-batas kepemilikan yang sah ditegaskan. Setelah itu, pada pukul 14.20 WIB, pagar dan pancang batas mulai dipasang oleh tukang dari pihak pemohon, secara fisik menandai wilayah yang kini berada di bawah hak milik Xaveriandi Sutanto.
Pukul 15.29 WIB, momen penyerahan objek secara resmi kepada pemohon dilakukan oleh juru sita. Ini adalah puncak dari seluruh proses hukum yang panjang. Terakhir, pada pukul 15.40 WIB, apel konsolidasi yang dipimpin oleh Kasat Samapta Polresta Padang AKP Budi Setiawan, S.H, menandai berakhirnya operasi.
Meskipun selama proses eksekusi, kaum Rusdi Coa dan pihak Tawanus, yang berjumlah sekitar 25 orang, terus berupaya menghalangi, personel pengamanan dari Polresta Padang berhasil meredam setiap potensi kericuhan. Pukul 15.50 WIB, kegiatan pengamanan eksekusi dinyatakan selesai. Situasi di lokasi, meskipun sempat tegang, akhirnya aman dan kondusif.
Kisah di Kapalo Koto inj menjadi cerminan betapa rumitnya penyelesaian sengketa tanah di Indonesia. Di satu sisi, ada keadilan yang harus ditegakkan melalui putusan pengadilan. Di sisi lain, ada ikatan historis dan klaim adat yang kerap menjadi alasan perlawanan. Pengamanan eksekusi ini bukan hanya tentang pemindahan kepemilikan, melainkan juga tentang upaya menjaga stabilitas dan ketertiban di tengah konflik kepentingan yang seringkali mendalam. (M)