PADANG - 20 APRIL 2025 - Bukan jalan tol yang mulus, bukan pula jembatan utuh yang kokoh. Yang terhampar di hadapan pengendara motor di Jembatan Gunung Nago, Lambung Bukit, Pauh, Padang, hanyalah rentetan papan kayu seadanya. Tiga, kadang empat helai papan sempit terentang di atas jurang perbaikan, menjadi satu-satunya lintasan bagi mereka yang terpaksa melintas. Setiap tarikan gas adalah pertaruhan, setiap goyangan kecil adalah ancaman. Di bawah sana, kerangka baja dan kedalaman menanti, siap menelan siapa pun yang kehilangan keseimbangan sesaat saja.
Pemandangan mengerikan ini bukan fiksi, melainkan realitas harian yang harus dihadapi warga di tengah pengerjaan jembatan vital tersebut. Mata publik yang sebelumnya sempat tertuju pada para pekerja yang berjibaku di tengah rintik hujan (dan baru menggunakan APD setelah disorot), kini beralih sepenuhnya pada para pengendara motor yang meniti papan-papan maut itu.
Ketakutan dan kemarahan pun menyelimuti warga sekitar. Mereka melihat langsung bagaimana nyawa dipertaruhkan di atas papan-papan sempit itu. "Jika sempat tergelincir dan jatuh, pengendara motor tersebut siapa yang bertanggung jawab?" suara gusar terdengar dari salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Baginya, pemandangan itu adalah bukti nyata kelalaian dalam perencanaan dan pengawasan. "Mestinya, pihak Dinas PUPR Kota Padang selaku pemilik kegiatan rutin harus septi, bila perlu tutup akses jembatan tersebut hingga perbaikan selesai," tegasnya. Ia bahkan menunjukkan adanya solusi yang sebenarnya ada dan lebih aman, sebuah "jembatan baru yang ada di daerah kampung pinang" sebagai akses alternatif yang bisa digunakan sementara. Desakan untuk menutup total jembatan demi keselamatan digaungkan pula oleh warga lainnya.
Kondisi membahayakan ini, yang menunjukkan kurangnya langkah pengamanan memadai selama pengerjaan, membuat warga geram dan merasa pemerintah kota, dalam hal ini Dinas PUPR, tidak serius menangani aspek keselamatan publik. Bagi mereka, situasi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Narasi bahaya yang terhampar di atas papan ini pun tak luput dari perhatian awak media, memperkuat sorotan publik yang kian membesar. Kondisi darurat yang mengancam nyawa ini memicu desakan yang lebih tinggi. Warga secara tegas meminta Walikota Padang, Fadly Amran, untuk tidak tinggal diam. Mereka berharap Walikota dapat menggunakan wewenangnya untuk menegur Dinas PUPR Kota Padang atas penanganan perbaikan jembatan yang dianggap membahayakan dan lalai dalam memastikan keselamatan pengguna jalan. Teguran dari pimpinan tertinggi kota diharapkan bisa menjadi dorongan kuat agar PUPR segera mengambil langkah-langkah pengamanan yang jauh lebih baik, termasuk kemungkinan menutup total akses jembatan selama perbaikan.
Namun, di tengah urgensi keselamatan fisik dan desakan warga kepada Walikota, satu simbol transparansi penting justru 'ghoib'. Papan nama kegiatan Jembatan Gunung Nago, penanda resmi yang seharusnya terpampang jelas di lokasi, tak kunjung terlihat. Padahal, papan nama bukanlah sekadar tempelan birokrasi. Ia adalah wajah akuntabilitas pemerintah di lapangan, sumber informasi krusial bagi publik mengenai siapa pelaksana, berapa anggaran yang digunakan (diduga dari dana publik), dan kapan perkiraan selesainya sebuah proyek. Keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, menjadi hak mutlak warga untuk mengawasi dan mengetahui apa yang sedang dibangun atau diperbaiki di lingkungan mereka. Ketiadaan papan nama ini menambah daftar pertanyaan dan kekecewaan warga terhadap transparansi kinerja Dinas PUPR.
Saat awak media mencoba mengonfirmasi 'kegaiban' papan nama ini, respons dari Dinas PUPR, melalui Kepala Dinas Tri Hadiyanto dan Kabid Bina Marga Insanul Rizki, menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah "kegiatan rutin bukan kontraktual" atau "Pemeliharaan Rutin (OP)". Sebuah penjelasan yang singkat, namun bagi publik, penjelasan tersebut tanpa adanya papan nama dan informasi detail lainnya terasa janggal dan tidak memuaskan rasa ingin tahu yang dilindungi undang-undang, sekaligus memperkuat alasan warga untuk meminta teguran dari Walikota.
Desakan agar Walikota Fadly Amran menegur Dinas PUPR adalah representasi puncak kekecewaan warga atas penanganan perbaikan Jembatan Gunung Nago yang dinilai membahayakan dan kurang transparan. Mereka berharap intervensi Walikota tidak hanya menghasilkan perbaikan prosedur keselamatan di lokasi, tetapi juga perbaikan mendasar dalam budaya kerja dinas terkait agar lebih mengutamakan keselamatan publik dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan, sekecil atau 'serutin' apapun itu. Nyawa warga tidak pantas dipertaruhkan di atas helai-helai papan sempit. (Mon)